Menghidupi Nilai Kebersamaan
Tradisi Kolektivis di Desa Pagutan
Desa Pagutan, yang terletak di Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena budaya kolektivis yang masih terjaga dengan baik. Budaya kolektivis ini menjadi pondasi bagi kehidupan sosial masyarakat yang mencerminkan nilai kebersamaan, solidaritas, dan tanggung jawab bersama. Budaya kolektivis vs individualistis merupakan salah satu aspek dalam enam dimensi kebudayaan menurut Hofstede (dalam Arrindell, 2003). Menurutnya, masyarakat dalam budaya kolektif lebih mengutamakan kebersamaan, keharmonisan kelompok, dan kesetiaan terhadap komunitas. Budaya kolektivis mencerminkan nilai kebersamaan dan solidaritas yang tinggi, mengingat individu menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar dan saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Triandis (2001), budaya kolektivis adalah pola budaya yang dicirikan dengan menempatkan prioritas pada tujuan kelompok di atas tujuan individu, menekankan keharmonisan, kerja sama, dan tanggung jawab bersama dalam sebuah kelompok. Orientasi budaya ini lazim di banyak masyarakat tradisional, terutama di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, yang kontras dengan budaya individualistis yang ditemukan di Eropa Barat, Amerika Utara, dan wilayah lainnya.
Konsep budaya kolektivis ini tidak hanya tercermin dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, tetapi juga dalam praktik keseharian mereka. Sikap gotong royong dan kebersamaan menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sosial, terlihat dari berbagai aktivitas yang melibatkan kerja sama antarwarga. Berdasarkan pengamatan langsung dan hasil wawancara, budaya kolektivis masih terasa kuat di Desa Pagutan. Terdapat berbagai kegiatan gotong royong atau yang dilakukan secara bersama-sama. Masyarakat desa mengutamakan kebersamaan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari gotong royong dalam acara adat hingga swadaya dalam membangun fasilitas umum.
Pertama, ketika seseorang memiliki hajat atau acara seperti peringatan meninggalnya seseorang atau pesta pernikahan, tetangga terutama yang berasal dari satu dusun akan turut membantu tuan rumah untuk memasak porsi besar bersama. Acara syukuran atau yang dalam bahasa sasak disebut dengan begawe merupakan sebuah acara untuk memperingati hal penting, seperti peringatan kematian, khitanan, pernikahan, atau hal lainnya. Dalam pelaksanannya, acara begawe mengundang banyak warga sekitar dan memerlukan masakan dengan porsi yang besar. Oleh karena itu, warga Desa Pagutan memiliki kebiasaan untuk membantu tetangganya memasak masakan untuk begawe. Menurut penuturan salah satu warga, tetangga yang membantu memasak akan membawa bahan makanan dan uang dalam jumlah tertentu yang akan digunakan sebagai bahan untuk memasak dalam jumlah besar. Beberapa masakan yang menjadi andalan ketika begawe antara lain adalah sayur ares dengan bahan dasar batang pohon pisang muda yang dimasak dengan kuah santan, daging kuah santan, beserta hidangan pelengkap seperti telur rebus, kacang-kacangan, dan kerupuk.
Begawe juga dilaksanakan ketika terdapat acara pernikahan. Selain begawe, pernikahan di Desa Pagutan juga memiliki salah satu prosesi yang meriah dan memerlukan keterlibatan banyak pihak, yaitu tradisi nyongkolan. Tradisi nyongkolan adalah sebuah prosesi budaya tradisional di Lombok yang terkait dengan upacara pernikahan. Prosesi ini melibatkan arak-arakan kedua mempelai, ditemani oleh keluarga dan teman-teman, melewati ruas jalan untuk mengumumkan pernikahan mereka kepada masyarakat. Nyongkolan biasanya disertai dengan musik, tarian, dan pakaian tradisional yang mencerminkan warisan budaya yang kaya dari masyarakat Sasak di Lombok. Musik tradisional yang dilantunkan diiringi oleh alat musik khas Suku Sasak yaitu gendang beleq yang dalam Bahasa Indonesia berarti gendang besar.
Selain pada kegiatan begawe, budaya kolektivis Desa Pagutan juga dapat terlihat dalam hal swadaya masyarakat. Kebiasaan yang sempat dikatakan oleh beberapa warga ini adalah kebiasaan mengumpulkan biaya pembangunan fasilitas bersama seperti masjid, pagar makam, atau hal lain dengan cara swadaya atau mandiri tanpa meminta uang kepada pihak luar. Menurut penuturan warga, pengumpulan biaya dilakukan dengan cara mengumpulkan beras tiap KK yang kemudian dikumpulkan dan dijual. Uang yang terkumpul dari hasil penjualan tersebut nantinya digunakan untuk membeli bahan yang diperlukan untuk pembangunan fasilitas bersama. Kebiasaan swadaya masyarakat di Desa Pagutan menekankan pentingnya bekerja bersama untuk kepentingan bersama serta lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan urusan individu.
Hal lain yang terlihat adalah terlaksananya kegiatan gotong royong di berbagai dusun di Desa Pagutan. Salah satu contoh adalah pada kegiatan bersih-bersih lingkungan sekitar yang rutin dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna menjaga lingkungan tetap asri dan bersih. Selain bebersih lingkungan, warga juga melakukan pembersihan lingkungan masjid menjelang Bulan Suci Ramadhan untuk menjaga masjid agar nyaman digunakan selama satu bulan. Kegiatan ini mencerminkan budaya kolektivis, di mana individu merasa bertanggung jawab terhadap kepentingan kelompok.
Kebiasaan yang menonjolkan kebersamaan juga dapat terlihat ketika masyarakat melakukan musyawarah di masjid untuk membahas kepentingan bersama. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa kepala dusun di Desa Pagutan, mereka mengaku melangsungkan kegiatan rapat dusun di masjid. Masjid digunakan sebagai tempat pertemuan untuk menggantikan fungsi balai dusun, karena mereka menganggap bahwa masjid sudah memenuhi fungsi yang biasanya ada pada balai dusun. Dalam hal ini, masjid yang biasanya memiliki fungsi sebagai tempat beribadah mengalami pergeseran fungsi menjadi pusat komunitas tempat masyarakat melakukan musyawarah. Selain itu, model ini dapat menjadi alternatif di tengah keterbatasan fasilitas, mengingat pembangunan masjid juga menggunakan sistem swadaya masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Pagutan, kebersamaan bukan sekadar konsep, melainkan praktik nyata yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi seperti begawe, nyongkolan, swadaya masyarakat, dan gotong royong tidak hanya menjadi bagian dari identitas budaya, tetapi juga bukti bahwa kehidupan bermasyarakat yang harmonis dapat terwujud melalui nilai-nilai kolektivisme yang kuat. Di tengah perubahan zaman, tradisi ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan adalah kekuatan yang mampu menjaga keutuhan dan keberlanjutan kehidupan sosial di Desa Pagutan.
Referensi:
Triandis, H. (2001). Collectivism: Cultural Concerns., 2227-2232. https://doi.org/10.1016/B0-08-043076-7/04578-2.
Arrindell, W. (2003). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations. Behaviour Research and Therapy, 41(7), 861–862. https://doi.org/10.1016/s0005-7967(02)00184-5